Jumat, 03 Mei 2013

Cerpen : Calon Suami



Calon Suami
“Wow!”
“Aaaaa....” Ica berteriak sangat kencang, seolah teriakan bisa membunuh laki-laki di hadapannya. Laki-laki yang sedang duduk dengan santai sambil membulatkan matanya. “Berbalik! Cepat berbalik!”
                “Gue udah nggak ngeliat lo sekarang. Kalo gue berbalik, justru gue akan ngeliat lo lagi,” katanya dengan santai.
                Mungkin benar, laki-laki itu telah berbalik atau menutup matanya, dan sekarang sedang tak melihat Ica. Entahlah... Ica sendiri tidak mau membuka matanya. Sedari mengambil handuknya yang terjatuh ia memang sudah tidak bisa berpikir, yang jelas ia harus menyelamatkan dirinya terlebih dahulu.
OMJ! Ica benar-benar akan membunuhnya. Tuhan salah apa aku? Rintih Ica dalam hati. Ia sudah tidak sanggup lagi sekarang. Bagaimana ini? Laki-laki itu telah mengetahui segalanya. Benar-benar segalanya.
“Tidaaaaakkkkk.....” Ica berlari sangat kencang. Sangat-sangat kencang –hingga ia hampir terjatuh- menuju kamarnya.
“Hahahahaaa.....” Dan laki-laki itu hanya tertawa membayangkan anak perempuan yang tidak sengaja melakukan hal bodoh itu, berlari menjauh darinya.
***
Asal kalian tau saja. Ica dengan cepat mengganti pakaiannya. Sangat cepat dari apa yang bisa dibayangkan semua orang. Ia tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan membunuh laki-laki yang berada di ruangan keluarganya itu.
Setelah memantapkan diri selama tiga detik, Ica masuk ke ruangan keluarga dan berdecak, “Eh, lo! Ngapain lo ada di rumah gue!” katanya garang.
Laki-laki itu tersenyum. Senyum yang manis dan sedikit membuat Ica hampir goyah. Tidak tidak, Ica harus fokus.
“Gue itu tamu. Tamu adalah Raja. Jadi tolong yah, layanin Raja lo dengan baik,” katanya masih dengan senyuman manis itu. Icaaa... ayo, fokus!
“Apa lo bilang??” Ica yang tak terima, sebenarnya ingin menceramahi laki-laki itu lebih panjang, kalau bisa kali lebar dan tinggi, walaupun akan jadinya persegi panjang. Tapi tidak, ia tidak melakukannya. Ia ingin melakukan yang lebih penting. Sebelum mengatakannya Ica menghembuskan nafas dan mengeluarkannya dengan tenang, ini akibat dari skot jump jantung, ia harus menenangkan diri sebelum mengatakannya. “Nikahin gue.”
“What?? Nikahin lo? jangan bercanda deh!” Laki-laki itu mulai tertawa lucu, tapi tetap manis. Ohh... nooo...
“Gue nggak bercanda. Pokoknya lo harus nikahin gue nanti. Titik nggak ada koma.” Suara Ica mulai menurun. Tapi tetap penuh penegasan. “Lo kan udah... liat semuanya.”
“Tapi kan gue nggak ngapa-ngapain lo.”
Karena efek cape, Ica-pun duduk di samping laki-laki itu. “Udah deh, pokoknya lo harus nikahin gue nanti. Lagian mata lo itu udah nggak perawan.”
“Gue ini kan perjaka. Hahaha...” seketika laki-laki itu berhenti tertawa, saat melihat keseriusan Ica.
“Pokoknya itu! Mata lo udah nggak perjaka lagi.”
“Mana ada orang yang tau kalo mata gue udah nggak perjaka lag? Bahkan orang-orang juga nggak akan tau dalemnya gue masih perjaka atau.....”
“Omes!!” Ica langsung memukul kepala laki-laki itu dengan bantal kursi disampingnya. Tapi setelah memukulnya Ica justru jadi diam, ia sedang menerawang masa depan suramnya. “Tapi tetep aja, lo harus nikahin gue. Biarin deh suami gue omes juga. Paling nanti kalo selingkuh gue gantung.”
“Buset dah nih anak...” laki-laki itu memandang anak perempuan di sampingnya sambil geleng-geleng kepala. “Lo kebelet kawin sama gue amat. Amat aja nggak kebelet kawin, lho. Nyantai aja lagi, say.” Karena anak perempuan di sampingnya tidak juga merespon, laki-laki itu sedikit berfikir lucu, “Hmm, tapi... kalo gue miskin gemana? Apa lo masih mau kawin sama gue?”
“Bodo amat. Lagian gue bakalan jadi photografer terkenal nantinya, gue juga bukan cewe matre ini,” jawab Ica tak bersemangat. “Pokoknya lo harus nikahin gue nantinya.”
“Tapi kan gue belum kerj-“
“Eh, kalian udah ngobrol?” tiba-tiba saja seseorang yang tidak diharapkan muncul, malah muncul. Membuat Ica jadi gelisah. “Ngobrolin apa aja? Kok kayanya seru banget.” Dan orang itu-pun duduk di antara Ica dan laki-laki itu, membuat mereka berdua merintih kesakitan karena terhimpit.
“Mas Danny, duduk sana kenapa?” tunjuk Ica pada Kursi singgle yang ada di sampingnya.
“Kenapa nggak lo aja yang duduk di sana, Ca?”
Ica mengendus kesal. kakaknya yang satu itu memang benar-benar menyebalkan. Tapi sebelum Ica berdiri, laki-laki di samping Danny langsung berdiri dan duduk di kursi singgle itu. Dan dengan anehnya, Danny malah berdiri dan menduduki Ica.
“Mas Danny apa-apaan sih?” decak Ica sambil memukuli bokong Danny. Tapi begitu isyarat mata Danny menyuruh Ica menggeser duduknya, Ica hanya bisa bergeser sambil menggerutu.
“Max, lo udah di kasih tau tempatnya?” tanya Danny. “Kalo gue belum, kira-kira gue dimana yah internship-nya.”
Sebelum Danny sempat membuka mulutnya, Ica langsung menyeletuk, “Max? Nama apaan itu? Hahaha...”
“Eh, nama gue itu keren. Maxime. Lah elo? Palingan Tukiyem.” Max mulai membanggakan dirinya.
“Enak aja, nama gue itu cantik, malaikat, Angelica,” kata Ica dengan anggun, ikut membanggakan namanya, tak mau kalah dengan laki-laki itu. “Udah ah, cape gue berdebat sama kalian berdua. Cowo emang nyebelin. Eh, lo Maxime, inget kata-kata gue.”
“Dann, itu ade lo yah?” tanya Max. Dan tanpa menunggu jawaban dari Danny, Max langsung melanjutkan perkataannya, “Nyokap lo kayanya salah ngasih nama untuk dia deh. Masa’ malaikat tapi kaya macan gitu sih?” gurau Max setelah Ica menghilang di balik dinding.
“Kadang gue juga berpikir kaya gitu. Tapi setelah dipikir-pikir nama Ica bagus juga, soalnya kadang dia emang lembut. Apalagi sama orang yang baru dia temuin...” Danny sedikit berfikir, “Hayooo.... ketauan, lo buat masalah apa sama dia?” Danny benar tentang Ica yang berkelakuan lembut pada orang yang baru saja ditemui adiknya itu. Tapi pada Max? Ica tak terlihat lembut sama sekali. Pasti sesuatu telah terjadi.
“Gue? Masalah apa?” dusta Max. Walau sebenarnya, ia memang tak terlalu berdusta, “Dia tadi Cuma ngelakuin hal konyol, dan gue ketawa. Eh malah dia jadi sensi.”
***
“Mas, tadi itu siapa?” Ica masuk tanpa permisi ke dalam kamar Danny. Ia memang sering melakukannya. Tapi kali ini bukan sekedar iseng seperti biasanya. Ia ingin mendapatkan informasi penting dari kakaknya itu.
“Temen satu kampus Mas. Satu kost-an juga. Katanya sih dia ke sini pengen jenguk neneknya, jadi sekalian aja gue ajak dia mampir ke rumah.” Danny merasakannya, ada yang berbeda dengan Ica. Tapi logika menyangkalnya. Ia memandang penarasan adik satu-satunya itu, “Emang kenapa?”
“Minta nope-nya dong!”
Ternyata ini yang berbeda dari Ica, apa Ica menyukai Max? Pikir Danny.
Ica langsung pada pointnya. Ia memang ingin mendapatkan nomor laki-laki itu, agar laki-laki bernama Max itu tak kabur dari perjanjian yang dibuatnya. “Mas pasti punya kan?”
“Lo suka sama dia yahh, gue bilangin Bunda lho...” goda Danny.
“Masss... Mas apa-apaan sih? aku kan Cuma minta nope-nya doang.” Ini semua karena kamar mandi di kamarnya yang rusak itu. Ia benar-benar mengutuk kesialannya itu. Seandainya kamar mandinya sedang tidak rusak. Seandainya Danny tidak membawa temannya ke ruangan keluarga yang harus dilewatinya saat keluar dari kamar mandi umum. Seandainya... terlalu banyak seandainya, itu membuat Ica semakin pusing.
“Nih, lo cari sendiri, namanya D-R spasi M-A-X-I-M-E,” Danny menyerahkan ponselnya dan memberi tau nama kontak Max pada ponselnya. Semoga saja Ica tidak melakukan hal bodoh dengan mengejar-ngejar Max, seperti teman-teman wanitanya yang ada di kampus, harap Danny dalam hati. “Oh, ya, lebih baik lo jangan berharap lebih yah sama dia. Dia emang ganteng. Tapi dia playboy kelas kakap. Jadi lebih baik lo jangan main-main sama dia, nanti bisa-bisa lo sakit hati. Okey, adikku sayang.”
“Cerewet!” kata Ica, sambil mengalihkan pandangannya dari Danny dan fokus pada ponsel kakaknya. “Eh? Dr? Dia jurusan kedokteran kaya Mas? Berarti dia bakal... pergi selama setahun, kaya Mas dong?”
***
Keesokan harinya ketika Danny sudah kembali ke kampus, ia langsung mencari Max. Ia yakin sesuatu telah terjadi semalam. Karena adiknya sama sekali tidak keluar dari kamarnya, bahkan juga tidak hanya untuk sekedar makan malam.
Dan begitu melihat Max melintas dihadapannya, Danny langsung menghampiri sobatnya itu, “Eh, cunguk, tadi malem lo SMS-an nggak sama adek gue?”
“Iya, emang kenapa?” tanya Max dengan santai. Ia memang merasa tidak ada yang salah. walaupun kemarin malam ia memang pusing karena anak kecil itu. Anak kecil yang juga adik sahabatnya. “Malah kita telephonan.”
Ia ingat betul, isi sms yang dikirimkan Ica untuk pertama kali. Bahkan ia belum menghapusnya sampai saat ini.
Telephone gue. Gue nggak ada pulsa!!
By: Angelica, si malaikat=>>adik mas Danny
Ica benar-benar menyebut dirinya malaikat pada Max. Max tau itu benar, Ica memang seperti malaikat. Ia cantik dan bersinar, walaupun tidak lembut. Max bisa melihatnya, walaupun hanya sebentar, di rumah Danny, kemarin.
Photografer terkenal? Rasanya ia lebih cocok menjadi modelnya dari pada menjadi photografernya.
Max tak pernah ragu untuk menuruti perintah anak kecil itu. Dan akhirnya, ia pun menelphone.
Dan bukanlah kata sapaan dan menanyakan kabar yang ia terima saat telephone tersambung. Melainkan...
“Omongan gue kemaren serius,” kata Ica di sebrang sana, membuka percakapan.
“Ya ampun gue kira kemarin lo becanda. Lo beneran kebelet kawin sama gue yah? Gue tau, gue itu ganteng, tap-“
“Gue lagi nggak tergila-gila sama lo! Di sini masalahnya lo udah... udah... liat semuanya.” Lagi-lagi Ica mengatakannya dengan berat, mungkin sebenarnya ia tidak ingin mengatakan itu, tapi keadaan memaksanya. Ia harus mengatakan dengan jelas sebelum Max kabur, itulah pikiran Ica. padahal Max tidak berniat kabur sama sekali.
“Ohh, tentang itu. Lo mulus kok, jadi nggak perlu malu gitu,” gurau Max agar suasana tak begitu mencengkam.
“Dasar omes!!” tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ica meneriakinya. “Masalahnya prinsip gue, gue Cuma akan ngeliatinnya nanti, ke suami gue. Tapi lo malah nyolong start dan liat... semuanya. Pokoknya gue nggak mau tau, lo harus nikahin gue. Hiks.. hiks...” Dan diakhir  sambungan itu, Max harus berusaha menenangkan Ica. Dengan sedikit sentuhan bakat playboynya Ica akhirnya luluh dan berhenti menangis. Ica pun sudah percaya padanya. Max akan kembali padanya dihari pertama ia selesai internship. Max akan bertanggung jawab.

“Eh lo denger omongan gue nggak sih?” seruan Danny membuatnya kembali kemasa sekarang dan meninggalkan lamunan mengenai kejadian malam itu.
“Eh apa? sory gue nggak denger,” Max tertawa cengesan sambil menggaruk rambutnya.
“Dasar lo, masa dari tadi gue ngejelasin sampe mulut berbusa gini lo nggak denger sih?” Danny menoyor kepala Max, ia merasa diacuhkan. Tapi ia harus tetap mengatakan ulang, ia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa adiknya, Ica, “Pokoknya intinya kayanya adek gue suka sama lo deh. Gue nggak mau yah sampe dia jadi korban lo berikutnya.”
“Tenang aja kakak ipar,” Max menepuk bahu Danny sambil berjalan mendahuluinya.
Danny yang tersadar langsung mengernyit heran, “Eh?”
***
“Kayanya hubungan kita cukup sampai di sini aja.” Entah sudah berapa kali Max mengatakannya, ia juga sudah bosa mengatakannya. Mengulangi kata yang sama, pada gadis yang berbeda tentunya.
Ada yang menangis karenanya. “Lo tega banget sih Max. Hiks... hiks...”
Ada yang tak terima karenanya, Plaks. “kurang ajar ya lo.”
Ada juga yang jadi bersikap aneh karenanya. “Nggak ada angin puting beliung, nggak ada ujan badai. Lo sarap yah minta putus sama gue? Hiii, serem, janga-jangan lo kerasukan lagi!”
Tapi ia sudah melakukannya. Tahap pertama. Memutuskan semua pacarnya. Tahap menjadi pacar yang baik untuk Ica.
***
Setelah tahap-tahap gaya berpacaran anak kecil lain yang telah dilakukannya, selama ber-LDR-an. Inilah tahap terakhir yang diajukan Ica dan harus terpenuhi.
“Gue jemput di sekolah lo?” setelah Max membuka pintu mobilnya, Ica membacakan pesan singkat yang ia kirim satu jam yang lalu, dengan mengejek, tentunya. “Sekolah gue itu keluarnya jam 2 pas lo malah jemput gue jam berapa ini? Jam 3 lewat 17 menit. Lo udah ngebuat gue nunggu 1 jam 17 menit 35 detik, tau?”
Padahal Ica tadinya ingin sekali memamerkan pacarnya yang tampan pada teman-temannya yang suka comel di sekolah. Tapi yang ada ia malah menunggu lebih dari satu jam. Ia kesal. ia tidak bisa pulang begitu saja setelah mendapatkan sms dari Max. Ia merasa... Max pasti akan datang pada setiap detik yang berlalu. Walaupun Max memang datang, dengan keterlambatannya –yang benar-benar lambat.
Max menyunggingkan senyum mempesonanya, cara ampuh untuk meminta maaf pada semua gadis yang sudah pernah ia jumpai. “Sory, gue kan baru aja keluar dari tol waktu SMS lo. Lagian gue baru pertama kali ke sekolah lo. Jadi yahh... gue nyasar-nyasar gitu.”
Ica sedikit tersipu melihat senyuman itu, tapi ia kembali berbicara dengan nada ketus untuk menyembunyikan semu merah muda itu, “Makanya cari di GPS lo itu. SMU. Venus itu terletak dimananya pulau jawa!”
“Yaa... kan kakak lo udah ngasih gue alamatnya. Jadi gue rasa semuanya udah beres. Salahin aja tuh, kakak lo yang ngasih alamatnya kurang lengkap.” Max masih tetap mencari alasan.
“Ihh... yaudah cepetan pulang, gue udah cape.” Ica langsung membuka pintu mobil Max dan memasuki mobil itu, menghindari sesuatu yang akan lebih menggoyahkannya. Senyuman manis itu.
***
“Eh, besok libur kan?” tanya Max saat mobil sudah mulai berjalan.
“Ya iyalah, besokkan hari minggu, semua orang juga tau kalo hari minggu itu libur.” Kata Ica ketus, ia memang masih sedikit kesal pada Max.
“Kalo gitu... gue culik lo yah. Mulai hari ini sampai besok.”
Perkataan Max membuat Ica menoleh penuh tanya, pada Max. Tapi begitu melihat Max mengubah jalur, ia menjadi gelisah, “Eh, kalo gue di cariin Bunda gemana?”
“Gue udah izin sama kakak lo. Jadi dia pasti cari alesan sendiri.”
Dan inilah rencan yang sudah dipikirkan Max dengan matang, sebelum ia menawarkan diri menjemput Ica. Penculikan lucu yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan pada siapapun.
***
Max tidak salah. ia benar membawa Ica mengunjugi neneknya. Karena neneknya tampak lebih bahagia semenjak kedatangan Ica satu jam yang lalu. Dan sekarang ia sedang memperhatikan kedua orang yang penting dalam hidupnya, membuat kue bersama.
“Oma salah, kalo kata Bunda kaya gini biar kuenya ngembang tanpa pengembang kue.” Ica mengambil adonan yang sedang di pegang nenek Max, dan mempraktekkan cara membuat kue yang diajarkan ibunya.
“Oma, dia cantikkan?” tanya Max sambil memperhatikan Ica yang sedang membuat kue disisi lain dapur. “Udah aku bilang kan, dia sama cantiknya kaya oma.”
Nenek tersenyum cantik, ia nampak bahagia. Nenek mengusap tangan Max sambil berkata, “Iya sangat cantik. Jangan nakal sama dia yah, Max.”
Max mengacungkan kedua ibu jarinya, “Oke oma.” Max mendekatkan dirinya pada neneknya dan mulai berbisik, “Eh, oma, katanya Angelica udah kebelet Merit sama Maxime. Oma setuju nggak.”
“Aww... lo apa-apaan sih? sakit tau.” Tiba-tiba seseorang menarik kupingnya  dengan keras. Ia tau itu siapa. Malaikat yang jarang sekali bersikap lembut padanya.
Ica semakin mengencangkan tarikannya, sambil mengejek Max, “Mampus, lagian lo apa-apaan sih? gue kan udah bilang nanti, bukan sekarang.”
“Dia masih SMA. Kamu harus sabar, Max.” Kata nenek, sambil tersenyum memandang tingkah cucunya dan calon cucu menantunya.
***
The End

1 komentar: