Calon Suami
“Wow!”
“Aaaaa....”
Ica berteriak sangat kencang, seolah teriakan bisa membunuh laki-laki di
hadapannya. Laki-laki yang sedang duduk dengan santai sambil membulatkan
matanya. “Berbalik! Cepat berbalik!”
“Gue
udah nggak ngeliat lo sekarang. Kalo gue berbalik, justru gue akan ngeliat lo
lagi,” katanya dengan santai.
Mungkin
benar, laki-laki itu telah berbalik atau menutup matanya, dan sekarang sedang
tak melihat Ica. Entahlah... Ica sendiri tidak mau membuka matanya. Sedari
mengambil handuknya yang terjatuh ia memang sudah tidak bisa berpikir, yang
jelas ia harus menyelamatkan dirinya terlebih dahulu.
OMJ! Ica
benar-benar akan membunuhnya. Tuhan salah apa aku? Rintih Ica dalam hati. Ia
sudah tidak sanggup lagi sekarang. Bagaimana ini? Laki-laki itu telah mengetahui
segalanya. Benar-benar segalanya.
“Tidaaaaakkkkk.....”
Ica berlari sangat kencang. Sangat-sangat kencang –hingga ia hampir terjatuh-
menuju kamarnya.
“Hahahahaaa.....”
Dan laki-laki itu hanya tertawa membayangkan anak perempuan yang tidak sengaja
melakukan hal bodoh itu, berlari menjauh darinya.
***
Asal kalian
tau saja. Ica dengan cepat mengganti pakaiannya. Sangat cepat dari apa yang
bisa dibayangkan semua orang. Ia tidak ingin melewatkan sedikitpun kesempatan
membunuh laki-laki yang berada di ruangan keluarganya itu.
Setelah
memantapkan diri selama tiga detik, Ica masuk ke ruangan keluarga dan berdecak,
“Eh, lo! Ngapain lo ada di rumah gue!” katanya garang.
Laki-laki itu
tersenyum. Senyum yang manis dan sedikit membuat Ica hampir goyah. Tidak tidak,
Ica harus fokus.
“Gue itu tamu.
Tamu adalah Raja. Jadi tolong yah, layanin Raja lo dengan baik,” katanya masih dengan
senyuman manis itu. Icaaa... ayo, fokus!
“Apa lo
bilang??” Ica yang tak terima, sebenarnya ingin menceramahi laki-laki itu lebih
panjang, kalau bisa kali lebar dan tinggi, walaupun akan jadinya persegi
panjang. Tapi tidak, ia tidak melakukannya. Ia ingin melakukan yang lebih penting.
Sebelum mengatakannya Ica menghembuskan nafas dan mengeluarkannya dengan
tenang, ini akibat dari skot jump jantung, ia harus menenangkan diri sebelum
mengatakannya. “Nikahin gue.”
“What??
Nikahin lo? jangan bercanda deh!” Laki-laki itu mulai tertawa lucu, tapi tetap
manis. Ohh... nooo...
“Gue nggak
bercanda. Pokoknya lo harus nikahin gue nanti. Titik nggak ada koma.” Suara Ica
mulai menurun. Tapi tetap penuh penegasan. “Lo kan udah... liat semuanya.”
“Tapi kan gue
nggak ngapa-ngapain lo.”
Karena efek
cape, Ica-pun duduk di samping laki-laki itu. “Udah deh, pokoknya lo harus
nikahin gue nanti. Lagian mata lo itu udah nggak perawan.”
“Gue ini kan
perjaka. Hahaha...” seketika laki-laki itu berhenti tertawa, saat melihat
keseriusan Ica.
“Pokoknya itu!
Mata lo udah nggak perjaka lagi.”
“Mana ada
orang yang tau kalo mata gue udah nggak perjaka lag? Bahkan orang-orang juga
nggak akan tau dalemnya gue masih perjaka atau.....”
“Omes!!” Ica
langsung memukul kepala laki-laki itu dengan bantal kursi disampingnya. Tapi
setelah memukulnya Ica justru jadi diam, ia sedang menerawang masa depan
suramnya. “Tapi tetep aja, lo harus nikahin gue. Biarin deh suami gue omes
juga. Paling nanti kalo selingkuh gue gantung.”
“Buset dah nih
anak...” laki-laki itu memandang anak perempuan di sampingnya sambil
geleng-geleng kepala. “Lo kebelet kawin sama gue amat. Amat aja nggak kebelet
kawin, lho. Nyantai aja lagi, say.” Karena anak perempuan di sampingnya tidak
juga merespon, laki-laki itu sedikit berfikir lucu, “Hmm, tapi... kalo gue
miskin gemana? Apa lo masih mau kawin sama gue?”
“Bodo amat.
Lagian gue bakalan jadi photografer terkenal nantinya, gue juga bukan cewe
matre ini,” jawab Ica tak bersemangat. “Pokoknya lo harus nikahin gue
nantinya.”
“Tapi kan gue
belum kerj-“
“Eh, kalian
udah ngobrol?” tiba-tiba saja seseorang yang tidak diharapkan muncul, malah
muncul. Membuat Ica jadi gelisah. “Ngobrolin apa aja? Kok kayanya seru banget.”
Dan orang itu-pun duduk di antara Ica dan laki-laki itu, membuat mereka berdua
merintih kesakitan karena terhimpit.
“Mas Danny,
duduk sana kenapa?” tunjuk Ica pada Kursi singgle yang ada di sampingnya.
“Kenapa nggak
lo aja yang duduk di sana, Ca?”
Ica mengendus
kesal. kakaknya yang satu itu memang benar-benar menyebalkan. Tapi sebelum Ica
berdiri, laki-laki di samping Danny langsung berdiri dan duduk di kursi singgle
itu. Dan dengan anehnya, Danny malah berdiri dan menduduki Ica.
“Mas Danny
apa-apaan sih?” decak Ica sambil memukuli bokong Danny. Tapi begitu isyarat
mata Danny menyuruh Ica menggeser duduknya, Ica hanya bisa bergeser sambil
menggerutu.
“Max, lo udah
di kasih tau tempatnya?” tanya Danny. “Kalo gue belum, kira-kira gue dimana yah
internship-nya.”
Sebelum Danny
sempat membuka mulutnya, Ica langsung menyeletuk, “Max? Nama apaan itu?
Hahaha...”
“Eh, nama gue
itu keren. Maxime. Lah elo? Palingan Tukiyem.” Max mulai membanggakan dirinya.
“Enak aja,
nama gue itu cantik, malaikat, Angelica,” kata Ica dengan anggun, ikut
membanggakan namanya, tak mau kalah dengan laki-laki itu. “Udah ah, cape gue
berdebat sama kalian berdua. Cowo emang nyebelin. Eh, lo Maxime, inget
kata-kata gue.”
“Dann, itu ade
lo yah?” tanya Max. Dan tanpa menunggu jawaban dari Danny, Max langsung
melanjutkan perkataannya, “Nyokap lo kayanya salah ngasih nama untuk dia deh.
Masa’ malaikat tapi kaya macan gitu sih?” gurau Max setelah Ica menghilang di
balik dinding.
“Kadang gue
juga berpikir kaya gitu. Tapi setelah dipikir-pikir nama Ica bagus juga,
soalnya kadang dia emang lembut. Apalagi sama orang yang baru dia temuin...”
Danny sedikit berfikir, “Hayooo.... ketauan, lo buat masalah apa sama dia?”
Danny benar tentang Ica yang berkelakuan lembut pada orang yang baru saja
ditemui adiknya itu. Tapi pada Max? Ica tak terlihat lembut sama sekali. Pasti
sesuatu telah terjadi.
“Gue? Masalah
apa?” dusta Max. Walau sebenarnya, ia memang tak terlalu berdusta, “Dia tadi
Cuma ngelakuin hal konyol, dan gue ketawa. Eh malah dia jadi sensi.”
***
“Mas, tadi itu
siapa?” Ica masuk tanpa permisi ke dalam kamar Danny. Ia memang sering
melakukannya. Tapi kali ini bukan sekedar iseng seperti biasanya. Ia ingin
mendapatkan informasi penting dari kakaknya itu.
“Temen satu
kampus Mas. Satu kost-an juga. Katanya sih dia ke sini pengen jenguk neneknya,
jadi sekalian aja gue ajak dia mampir ke rumah.” Danny merasakannya, ada yang
berbeda dengan Ica. Tapi logika menyangkalnya. Ia memandang penarasan adik
satu-satunya itu, “Emang kenapa?”
“Minta nope-nya
dong!”
Ternyata ini
yang berbeda dari Ica, apa Ica menyukai Max? Pikir Danny.
Ica langsung
pada pointnya. Ia memang ingin mendapatkan nomor laki-laki itu, agar laki-laki
bernama Max itu tak kabur dari perjanjian yang dibuatnya. “Mas pasti punya
kan?”
“Lo suka sama
dia yahh, gue bilangin Bunda lho...” goda Danny.
“Masss... Mas
apa-apaan sih? aku kan Cuma minta nope-nya doang.” Ini semua karena kamar mandi
di kamarnya yang rusak itu. Ia benar-benar mengutuk kesialannya itu. Seandainya
kamar mandinya sedang tidak rusak. Seandainya Danny tidak membawa temannya ke
ruangan keluarga yang harus dilewatinya saat keluar dari kamar mandi umum. Seandainya...
terlalu banyak seandainya, itu membuat Ica semakin pusing.
“Nih, lo cari
sendiri, namanya D-R spasi M-A-X-I-M-E,” Danny menyerahkan ponselnya dan
memberi tau nama kontak Max pada ponselnya. Semoga saja Ica tidak melakukan hal
bodoh dengan mengejar-ngejar Max, seperti teman-teman wanitanya yang ada di
kampus, harap Danny dalam hati. “Oh, ya, lebih baik lo jangan berharap lebih
yah sama dia. Dia emang ganteng. Tapi dia playboy kelas kakap. Jadi lebih baik
lo jangan main-main sama dia, nanti bisa-bisa lo sakit hati. Okey, adikku
sayang.”
“Cerewet!”
kata Ica, sambil mengalihkan pandangannya dari Danny dan fokus pada ponsel
kakaknya. “Eh? Dr? Dia jurusan kedokteran kaya Mas? Berarti dia bakal... pergi
selama setahun, kaya Mas dong?”
***
Keesokan
harinya ketika Danny sudah kembali ke kampus, ia langsung mencari Max. Ia yakin
sesuatu telah terjadi semalam. Karena adiknya sama sekali tidak keluar dari
kamarnya, bahkan juga tidak hanya untuk sekedar makan malam.
Dan begitu
melihat Max melintas dihadapannya, Danny langsung menghampiri sobatnya itu, “Eh,
cunguk, tadi malem lo SMS-an nggak sama adek gue?”
“Iya, emang
kenapa?” tanya Max dengan santai. Ia memang merasa tidak ada yang salah.
walaupun kemarin malam ia memang pusing karena anak kecil itu. Anak kecil yang
juga adik sahabatnya. “Malah kita telephonan.”
Ia ingat
betul, isi sms yang dikirimkan Ica untuk pertama kali. Bahkan ia belum
menghapusnya sampai saat ini.
Telephone gue. Gue nggak ada pulsa!!
By: Angelica, si malaikat=>>adik mas
Danny
Ica benar-benar
menyebut dirinya malaikat pada Max. Max tau itu benar, Ica memang seperti
malaikat. Ia cantik dan bersinar, walaupun tidak lembut. Max bisa melihatnya,
walaupun hanya sebentar, di rumah Danny, kemarin.
Photografer
terkenal? Rasanya ia lebih cocok menjadi modelnya dari pada menjadi
photografernya.
Max tak pernah
ragu untuk menuruti perintah anak kecil itu. Dan akhirnya, ia pun menelphone.
Dan bukanlah
kata sapaan dan menanyakan kabar yang ia terima saat telephone tersambung.
Melainkan...
“Omongan gue kemaren serius,” kata Ica di
sebrang sana, membuka percakapan.
“Ya ampun gue kira kemarin lo becanda. Lo
beneran kebelet kawin sama gue yah? Gue tau, gue itu ganteng, tap-“
“Gue lagi nggak tergila-gila sama lo! Di
sini masalahnya lo udah... udah... liat semuanya.” Lagi-lagi Ica mengatakannya
dengan berat, mungkin sebenarnya ia tidak ingin mengatakan itu, tapi keadaan
memaksanya. Ia harus mengatakan dengan jelas sebelum Max kabur, itulah pikiran
Ica. padahal Max tidak berniat kabur sama sekali.
“Ohh, tentang itu. Lo mulus kok, jadi nggak
perlu malu gitu,” gurau Max agar suasana tak begitu mencengkam.
“Dasar omes!!” tapi yang terjadi malah
sebaliknya. Ica meneriakinya. “Masalahnya prinsip gue, gue Cuma akan ngeliatinnya
nanti, ke suami gue. Tapi lo malah nyolong start dan liat... semuanya. Pokoknya
gue nggak mau tau, lo harus nikahin gue. Hiks.. hiks...” Dan diakhir sambungan itu, Max harus berusaha menenangkan
Ica. Dengan sedikit sentuhan bakat playboynya Ica akhirnya luluh dan berhenti
menangis. Ica pun sudah percaya padanya. Max akan kembali padanya dihari
pertama ia selesai internship. Max akan bertanggung jawab.
“Eh lo denger
omongan gue nggak sih?” seruan Danny membuatnya kembali kemasa sekarang dan
meninggalkan lamunan mengenai kejadian malam itu.
“Eh apa? sory
gue nggak denger,” Max tertawa cengesan sambil menggaruk rambutnya.
“Dasar lo,
masa dari tadi gue ngejelasin sampe mulut berbusa gini lo nggak denger sih?”
Danny menoyor kepala Max, ia merasa diacuhkan. Tapi ia harus tetap mengatakan
ulang, ia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa adiknya, Ica, “Pokoknya
intinya kayanya adek gue suka sama lo deh. Gue nggak mau yah sampe dia jadi
korban lo berikutnya.”
“Tenang aja
kakak ipar,” Max menepuk bahu Danny sambil berjalan mendahuluinya.
Danny yang
tersadar langsung mengernyit heran, “Eh?”
***
“Kayanya
hubungan kita cukup sampai di sini aja.” Entah sudah berapa kali Max
mengatakannya, ia juga sudah bosa mengatakannya. Mengulangi kata yang sama,
pada gadis yang berbeda tentunya.
Ada yang menangis
karenanya. “Lo tega banget sih Max. Hiks... hiks...”
Ada yang tak
terima karenanya, Plaks. “kurang ajar
ya lo.”
Ada juga yang
jadi bersikap aneh karenanya. “Nggak ada angin puting beliung, nggak ada ujan
badai. Lo sarap yah minta putus sama gue? Hiii, serem, janga-jangan lo
kerasukan lagi!”
Tapi ia sudah
melakukannya. Tahap pertama. Memutuskan semua pacarnya. Tahap menjadi pacar
yang baik untuk Ica.
***
Setelah
tahap-tahap gaya berpacaran anak kecil lain yang telah dilakukannya, selama
ber-LDR-an. Inilah tahap terakhir yang diajukan Ica dan harus terpenuhi.
“Gue jemput di
sekolah lo?” setelah Max membuka pintu mobilnya, Ica membacakan pesan singkat
yang ia kirim satu jam yang lalu, dengan mengejek, tentunya. “Sekolah gue itu
keluarnya jam 2 pas lo malah jemput gue jam berapa ini? Jam 3 lewat 17 menit.
Lo udah ngebuat gue nunggu 1 jam 17 menit 35 detik, tau?”
Padahal Ica
tadinya ingin sekali memamerkan pacarnya yang tampan pada teman-temannya yang
suka comel di sekolah. Tapi yang ada ia malah menunggu lebih dari satu jam. Ia
kesal. ia tidak bisa pulang begitu saja setelah mendapatkan sms dari Max. Ia
merasa... Max pasti akan datang pada setiap detik yang berlalu. Walaupun Max
memang datang, dengan keterlambatannya –yang benar-benar lambat.
Max
menyunggingkan senyum mempesonanya, cara ampuh untuk meminta maaf pada semua
gadis yang sudah pernah ia jumpai. “Sory, gue kan baru aja keluar dari tol
waktu SMS lo. Lagian gue baru pertama kali ke sekolah lo. Jadi yahh... gue
nyasar-nyasar gitu.”
Ica sedikit
tersipu melihat senyuman itu, tapi ia kembali berbicara dengan nada ketus untuk
menyembunyikan semu merah muda itu, “Makanya cari di GPS lo itu. SMU. Venus itu
terletak dimananya pulau jawa!”
“Yaa... kan
kakak lo udah ngasih gue alamatnya. Jadi gue rasa semuanya udah beres. Salahin
aja tuh, kakak lo yang ngasih alamatnya kurang lengkap.” Max masih tetap
mencari alasan.
“Ihh... yaudah
cepetan pulang, gue udah cape.” Ica langsung membuka pintu mobil Max dan
memasuki mobil itu, menghindari sesuatu yang akan lebih menggoyahkannya.
Senyuman manis itu.
***
“Eh, besok
libur kan?” tanya Max saat mobil sudah mulai berjalan.
“Ya iyalah,
besokkan hari minggu, semua orang juga tau kalo hari minggu itu libur.” Kata
Ica ketus, ia memang masih sedikit kesal pada Max.
“Kalo gitu...
gue culik lo yah. Mulai hari ini sampai besok.”
Perkataan Max
membuat Ica menoleh penuh tanya, pada Max. Tapi begitu melihat Max mengubah
jalur, ia menjadi gelisah, “Eh, kalo gue di cariin Bunda gemana?”
“Gue udah izin
sama kakak lo. Jadi dia pasti cari alesan sendiri.”
Dan inilah
rencan yang sudah dipikirkan Max dengan matang, sebelum ia menawarkan diri
menjemput Ica. Penculikan lucu yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan pada
siapapun.
***
Max tidak
salah. ia benar membawa Ica mengunjugi neneknya. Karena neneknya tampak lebih
bahagia semenjak kedatangan Ica satu jam yang lalu. Dan sekarang ia sedang
memperhatikan kedua orang yang penting dalam hidupnya, membuat kue bersama.
“Oma salah,
kalo kata Bunda kaya gini biar kuenya ngembang tanpa pengembang kue.” Ica
mengambil adonan yang sedang di pegang nenek Max, dan mempraktekkan cara
membuat kue yang diajarkan ibunya.
“Oma, dia
cantikkan?” tanya Max sambil memperhatikan Ica yang sedang membuat kue disisi
lain dapur. “Udah aku bilang kan, dia sama cantiknya kaya oma.”
Nenek
tersenyum cantik, ia nampak bahagia. Nenek mengusap tangan Max sambil berkata,
“Iya sangat cantik. Jangan nakal sama dia yah, Max.”
Max
mengacungkan kedua ibu jarinya, “Oke oma.” Max mendekatkan dirinya pada
neneknya dan mulai berbisik, “Eh, oma, katanya Angelica udah kebelet Merit sama
Maxime. Oma setuju nggak.”
“Aww... lo
apa-apaan sih? sakit tau.” Tiba-tiba seseorang menarik kupingnya dengan keras. Ia tau itu siapa. Malaikat yang
jarang sekali bersikap lembut padanya.
Ica semakin
mengencangkan tarikannya, sambil mengejek Max, “Mampus, lagian lo apa-apaan
sih? gue kan udah bilang nanti, bukan sekarang.”
“Dia masih
SMA. Kamu harus sabar, Max.” Kata nenek, sambil tersenyum memandang tingkah
cucunya dan calon cucu menantunya.
***
The
End